Hingga Kau Memijak Jejakku
1992…
Merekahnya hari ini bukan berarti kau juga harus
merekah pergi dari hidupku. Ingat
oktober lalu yang mengisahkan tentang indahnya perasaan? Namun mungkin kita
tidak halal dalam berperasaan yang berlebihan untuk itu. Seperti yang ku tahu, penyimpangan
terbesar jika ku lakukan itu karena aku masih jadi manusia yang dikaruniai hati
oleh Nya. Mustahil jika ku abaikan hatinya untuk mu. Dia siapa? Yang jelas dia
lebih dulu melukis nama di hatimu walaupun sebenarnya persemian itu lebih dulu
aku. Ah, apalah, aku hanya seorang ukhti yang terus menyandang kerudung indah
dengan seringnya bersenandung kidungNya, dengan senyuman yang lebar dan cuek
terhadap mereka si penggoda tak jelas. Hm….., andaikan itu semua “iya”, bukan
sekedar sketsa cita-cita…
Keanggunan
yang ku pamerkan selama ini berhasil memikat hati hamba Tuhan yang telah
memikat hatiku juga padanya. Dia sering memperhatikanku dan aku
merasakannya,namun semua itu mungkin tak ku balas secara langsung, karena dia
belum tentu yang terakhir untukku. Aku bukan tipikal makhluk yang tak
berprinsip, bahkan aku adalah makhluk yang terlalu berprinsip. Aku sadar
setelah ini semua terjadi. Setelah keindahan oktober berlalu…
Mading
Fakultas Tarbiyah menjadi saksi bisu pertemuanku dengan dia. Dia mengenakan kemeja
hitam dengan jeans ponggol kesukaan ku. Aku seperti biasa, jilbab biru menjadi
favourite ketika ku bertemu dengan dia, itu warna kesukaannya. Dengan penuh
keyakinan ku tatap matanya sekilas, dia mengatakan ‘Aku Sayang Kamu, Riela..’.
tak bisa ku pungkiri perasaanku waktu itu. Aku juga sayang dia. Namun aku tak
ingin melangkahi prinsipku, aku tak akan pernah berpacaran dengan satu
orangpun, kecuali dia suamiku. Di balik jilbab biru, rambutku mengayun-ayun
lembut dengan sentuhan manja angin. Seketika hatiku benar-benar tegang. Apa
yang harus ku katakan? Apa aku harus berkata jujur atau mengalihkan
pembicaraan. Mataku berkedip beberapa kali, untuk kali yang terakhir tak
sengaja ku keluarkan air mata. Aku takut dengan ini semua, usiaku yang sudah 25
tahun rasanya bukan usia yang harus berpikir lebih panjang lagi untuk mempunyai
seorang pendamping. Sementara dia yang menyatakan perasaannya barusan, telah
lumayan mapan dalam segi kepemimpinannya. Apa yang harus ku buat? Batinku
bergejolak tak henti. Sejenak, kuberbalik badan dan ku usap air mata hingga tak
berbekas. Mudah-mudahan dia tidak mengetahui hal itu.
“Riela, gimana? Boleh kan aku sayang sama kamu?”
katanya tiba-tiba mengejutkan batinku yang sejak tadi asyik dengan lamunan
pertimbangan terhadap perasaannya.
“eum… terserah kamu, itu terserah pribadi kamu. Lebih
baik kamu sayang sama aku kan dari pada kamu benci sama aku?” ujarku. Kemudian
kami tertawa. Tawaan itu? Semakin meyakinkanku untuk kebersamaan kami. Aku tak
bisa mengelak dari tumpukan perasaan ini yang terus membebaniku.Tiba-tiba aku
mengalihkan pembicaraan ini, aku mencoba memfokuskan diri untuk berbicara
masalah IP kami. Tak penting sih sebenarnya, namun hanya untuk menghangatkan
kembali suasana.aku tak peduli dengan apa yang ada di benaknya saat itu, yang
jelas aku ingin lepas dari pernyataan yang menggunung tiba-tiba dan tak tau di
mana lembahnya. L
Malam
ini ingatanku tak mau minggat dari namanya, Rendra…, seakan-akan terus
menyebut-nyebut namanya.kembali otak ini memutar sejarah bersamanya ketika
pertama kali dia mengatakan aku sayang kamu, pernyataan aku sayang kamu di
depan mading tarbiyah bukanlah yang pertama. Oleh sebab itulah mengapa aku
merasa sangat bersalah. Aku tidak pernah menjawab apapun yang menyinggung hal
itu sekalipun. Aku tak mau tahu dengan perasaan dia, aku juga tak mau tau apa
aku menggantungnya atau tidak, yang jelas pengalihan pembicaraan selalu ku
lakukan, bahkan ini semua sudah berlangsung selama kira-kira sebulan. Rendra..,
aku ingin mala mini malam terakhirku untuk mengingat terus namamu. Tak ingin
jiwaku tersiksa hanya karena perasaan terpendam yang ku pelihara L
Masih
malam ini. Ku harap ini untuk terakhir kalinya bertuliskan ‘Rendra, memanggil’ di layar N73 ku. Aku menjawab
teleponnya layaknya biasanya. Aku bahkan berharap ini semua kan biasa saja, aku
tak ingin Rendra membahas masalah perasaan. Muak!!!. Alhamdulillah, harapan ku
terkabul. Rendra tak membahas itu. Namun sedikit membuat aku syok saat berita barusan
Rendra ditemukan setelah tenggelam 6 jam yang lalu dan saat ini Rendra di RSU
kota Sabang. Oh.. aku ingat, tadi katanya dia pergi berenang dengan kawannya
sepulang dari pertemuan kami tadi. Ah…
ada-ada saja yang di nbuat olehnya. Ku buang rasa khawatirku yang berlebihan
itu dan aku coba menjenguknya ke RS. Kali ini, aku tak mengeluarkan setitik air
mata pun. Ku rasa, mata ini telah lelah menangisi dia. Dia sudah sadar, namun
masih setengah sadar. Kakinya cedera, sepertinya dia mengalami retak tulang. Sedikit
yang membuat ku terharu saat dia memanggil nama Riela. Aku di sampingmu.
Akhirnya
aku benar-benar bebas, aku tak lagi di haling-halangi wajahnya ketika ke
kampus. Namun aku jera. Bayangannya tetap saja mendera. Sudah seminggu dia di
RS. Dan hari ini membuat aku menangis ketika aku mendengar dia koma. Apa yang harus ku perbuat? Padahal kemarin dia
sudah baik-baik saja. Tiba-tiba, kata-kata aku sayang kamu terlintas di
kepalaku. Aku menyerahkan semua ini pada Ilahi. Apa yang sebaiknya kau lakukan?
Aku bergegas ke RS dan memandangnya lekat dari balik pintu ICU. Hatiku
meneriakkkan aku juga sayang kamu, cepat sembuh. Meski lidah ini kelu tak mampu
berbicara itu pada dirinya, ku harap dia bisa mendengar isi hatiku untuk kali
ini saja. Aku bena-benar terpukul sekarang. Entah aku menyesal entah tidak.
Sepulang aku dari RS, tak hentinya aku panjatkan do untuknya, aku terus-terusan
memohon kepada Rabbi agar kesembuhan cepat menghampirinya. Aku bernazar
untuknya dan segala upaya aku lakukan untuk kesembuhannya. Suatu hari, aku benar-benar
terharu saat mendengar dia telah keluar dr RS yang telah memenjarakannya selam
kurang lebih 2 bulan. Dalam waktu 2 bulan itu, aku hanya menjenguknya 2 kali, pertama
kau tau dan sewaktu dia koma. Selainnya? Aku tak sanggup.
Hari
ini aku bertemu dengannya. Tak pernah ku sangka AC RS Sabang telah mencuci
otaknya. Kenapa bisa tiba-tiba dia mengenalkanku dengan seorang gadis. Aku tak
tau gadis itu siapa. Yang jelas aku merasa sangat marah ketika aku mulai
berjabat tangan dengannya. Hancur semua perasaanku. Apa mungkin Rendra tak
ingin lagi memikirkan perasaan dulu karena ketiadaan respon yang ku beri.ah..
aku memutuskan untuk membalas surat ayah yang seminggu lalu dikirimkannya,aku
mengatakan iya dalam perjodohanku dengan Radit. Perasaan ku untuk Rendra
sekarang benar-benar terbakar meteor kecemburuan tak jelas. Aku mengambil
keputusan yang setengah bimbang hatiku. Semua menari-nari bebas semaunya saja. Entah
dimana semuanya akan tenggelam dan entah dimana segalanya kan bermuara. Yang
jelas, kini ku temukan yang ku cari. Aku tak ingin menanti lagi seperti dulu.
Teringat lagi kala ku mendoakannya, kala ku menangis untuknya, kala ku berduka
karenanya. Kecewa…, karena tiba-tiba saja surya mengabari ku hal yang menghancurkan
segalanya. Huf, aku tak ingin kenal lagi dengann perawatan cinta untuknya. Aku
yang bernazar untuk kesehatannya, namun kenyataan dia lebih memerdulikan si
gadis yang buat hatiku keropos tiba-tiba.
Ku
sodorkan lembaran undangan biru untuk Rendra.
Dia terkejut setelah membuka dan membaca tulisannya, Riela dan Radit. Dia
dengan sigap dan cekatnya mengambil tanganku dan berjabat erat. Jujur, selama
ini Rendra tak pernah menyentuh tanganku, dia begitu menjaga. Dan ini kali
pertama. Aku ingin mendengar kata selamat dari dia, tapi tak dia ucapkan. Aku
berharap Rendra tak sakit dengan ini semua hingga tiba hari kebahagiannku.
Namun entah iya itu hari bahagia? Aku pun bingung, mungkinkah hanya sekedar
pelampiasan cemburu? Rendra tak kan tau ini semua. Bahkan dia takkan tau aku
pernah sayang padanya. Ini adalah deritanya, kenapa dia tidak menjaga
poerasaanku yang selama dua bulan ini sengaja ku jaga untuk dia? Apapun yang
terjadi, aku tunggu Rendra bisa memijak jejakku ini. Jejak seorang muslimah
yang telah lelah bertahan dalam balutan rasa penuh misteri. Apa jadiku
sekarang? RENDRA! Entah di hati bagian mana dia! Suamiku, entahlah!
karya: Radhia Humaira (XII IPS GG)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar