Sabtu, 09 November 2013

cerpen siswi



Namanya di Sela Jarinya
karya: Radhia Humaira (XII IPS GG)
Semua akan berlalu dan pergi tak terkecuali waktu dan diri, begitulah kira-kira kesadaran diri yang dimiliki oleh Dia. Suatu karunia Tuhan yang menakdirkan baginya kelebihan. Pengertian yang ia alami sungguh besar untuk kesosialannya. Hari ini tepat 27 February 2013, dia kembali berusaha melestarikan kebudayaan lingkungannya, mencoba kompak. Sementara hawa di sekitar alamnya acuh tak acuh memerdulikannya. Yang ada hanya lirikan waktu berbutir ‘kapan berakhir?’ dan ‘kapan berakhir?’ . Di pojok kelas sempit dia melirik satu per satu manusia yang diujinya kala itu. wajah lusuh sungguh tak menjadi halangan untuk berjuang demi kelas yang penuh dengan sejarah pelangi dahulu. Sekarang, isinya mulai ambruk, nyawa-nyawa mereka hanya sebagai syarat dari gerakan mereka. Perasaan hanya sekedar kata-kata yang dilestarikan, bukan perilaku yang hendak dibudayakan,. Sebab itu, sekarang dia berusaha keras menyatukan urat-urat persatuan itu, meski gagal masih selalu terulur.
Kali ini setidaknya dia berhasil dalam usahanya membuat ujian untuk menguji persatuan, walaupun hanya separuh dari harapan. Sebelum ujian itu terlaksanakan, dia sungguh berharap dua kemungkinan terjadi. Pertama, siswa/I akan mencontek demi interaksi dan kepedulian itu tumbuh, meski itu sebuah pelanggaran, namun itu suatu kewajiban bagi dirinya. Yang kedua, berharap tidak ada yang mencontek demi mematuhinya. Jelas, dengan gambaran kelas yang sama sekali tak berekspresi itu mengabulkan harapan ke dua. Dia benar-benar bingung dengan tingkah muridnya. Selama ia mengajar, tak ada seorang siswa pun yang tidak mencontek. Dia mengintrospeksikan dirinya, apa mungkin pengawasan ujian yang terlalu ketat membuat mereka tidak berani mencontek. Rasanya tidak!!! Hatinya tak mampu lagi menahan beban tak terketahui, dia merasa sakit yang tak terpahami karena itu adalah cara terakhir yang telah dicanangkannya dalam BRPnya,(Buku Rencana Persatuan), buku itu pemberian gurunya dulu ketika kelas mereka tak mampu dipecahkan hingga di buku tersebut hanya terdapat satu kalimat “Tak Perlu Direncanakan karena Mereka telah Merencanakan”. Buku  itu bertahan dengan kalimat itu tanpa dibubuhi setitik penapun hingga 9 tahun dari tamatannya di sekolah tersebut dengan jurusan sosialnya. Kini dia bekerja kembali di sekolah yang pernah membuat dia besar di kalangan beberapa masyarakat. Namun suasana jauh berbeda, cakrawala tak terbuka lagi, buta dengan warna pelangi, bisu dengan sandaran-sandaran kata. Tak mampu mendengar lagi laguan sendu yang pernah merangkai cerita penting. Hanya mengusik habitat lama yang utuh dalam satu pelukan. Hiks… sungguh bergeser semua hal dengan susunan rapinya.
Semangat membuat galaunya menjauh. Membuat ia selalu Nampak muda dalam keriput tua. Walau sibuk ia memikirkan cara untuk mengompakkan kelas social yang dipeganginya, namun mulutnya tak pernah berhenti mengunyah pinang muda yang tercampur sirih. Lebih nikmat dari pada menghisap tembakau, katanya. Ini dilakukan untuk memutar jalan pikirannya dalam menemukan pintu rahasia yang telah diciptakan Tuhan dalam hidupnya, karena katanya tiap permasalahan itu ada jalan keluar, maka inilah saat-saat ia mencari pintu. Hari ini detik terakhir dalam pencariannya, seorang siswa berkata dengan muka datar yang terpampang bahwa kita tak perlu memikirkan orang lain karena belum tentu orang lain memikirkan kita, setelah melihat sang pak tua yang terus berusaha memperhatikan mereka.  sang guru mulai mengembangkan senyumnya, lalu tiba-tiba senyum tipis itu berubah menjadi kesinisan yang perlahan mengajak kakinya menjauh dari hadapan dia. Langkah kaki yang beraturan menandakan pikirannya yang sedang berjalan. Lampu-lampu kreatif telah menyala dalam otaknya. Meski hari terakhir, ia yakin, kali ini keberhasilan akan berjabat dengannya. Namun nihil kembali  tak pernah bisa terbuang. Virusnya begitu kental.
            Allah Allah Allah…
lisan kini yang menjadi teman sejati. Harapan  6 bulan lalu memang tak untuk nyata. Pantasnya hanya membuat harapan baru, harapan bahwa ini semua hanya kejutan untuk cerita hidup abadi ke depan. Tak pernah bisa sanggup dibayangkan jika esok adalah akhirnya sementara mereka belum memberinya kejutan hingga nanti. Namun ia tak sanggup jika ia masih bertahan besok, dia akan terus memikirkan cara, cara dan cara. Ternyata memang hidup ini penuh pikiran.

Allah…
Allah…
Allah..
meski di tempat yang hampir berbeda dia terus menyebutkan nama itu.  dalam setiap lisan yang tergerak  dalam iringan nama tuhan, di situ ada doa yang dipanjatkan untuk mereka generasi tercinta. Kini, semangat makannya mulai menurun, namun semangat untuk terus hidup dan bersama mereka tak pernah terhenti dalam aliran darahnya. Seandainya ia dapat membagi, ia takkan pernah membagi ini pada seorangpun karena ia ingin hanya dia yang bersama mereka.
Ubun-ubun siswanya sekarang mulai resah. Otot-otot  bergerak tak beraturan. Melihat sang guru yang telah terlebelkan kebencian dalam hati mereka tak masuk sudah seminggu tanpa kabar yang terberitakan. Satu kesimpulan dalam sebuah keputusan bahwa menjenguknya adalah kabar yang akan didapat. Siswa yang berperan sebagai ketua kelas mengatur  semua sarana dan prasarananya.  Setelah semua usai, hal itu pun mulai terjalankan.
Walau sedang bersama-sama, tak ada ekspresi yang berubah pada wajah mereka, masih dingin pada satu sama lainnya meskipun sekarang telah berada di gerbang si guru tua. Suara langkah yang sangat pelan dan sekilas membayang pada lantai membuat mereka berhipotesa bahwa beliau mulai beranjak ke arah mereka. Tepat!!! Beliau adalah seorang lanjut usia, namun senyumnya masih terlihat ikhlas meski giginya telah berkata selamat tinggal pada gusinya.
“kalian bukan mencari saya. Kalian pasti mencari suami saya. Sekarang beliau sedang di luar negeri karena kemarin ada suatu lembaga pekerjaan yang memanggil beliau untuk bekerja di sana. Alhamdulillah… akhirnya beliau bisa membuahkan sejarah baru dalam hidupnya meski di luar sana.” Jelasnya.
“kapan beliau kembali?” ketua kelas angkat bicara.
“kurang tau. Sepertinya kami akan menetap di sana.”
Dengan sigap, seorang siswa yang pernah membuat pak tua tersenyum tipis hingga berubah sinis itu mengeluarkan kamera dari tasnya. Dia menyuruh merapat semua anggota yang ada di sana. Setelah waktunya di setel, dia menaruh kamera di depan dan berpose dengan senyum mengembang seolah penuh kekompakan. setelah dua jam berlalu dari waktu-waktu mereka, akhirnya ia memberikan selembar gambar itu pada sang istri pak tua. Berharap akan dipajang dan sang guru tua akan tau dengan hal itu

“katakan padanya, kami semua sebenarnya saling sayang, kami saling ngerti. Namun kami tak ingin menampakkan pada siapapun. Biar hati kami yang tau. Kami bukan tak mau jujur, kami telah jujur dalam laku kami saja.” Ujarnya.
“sebenarnya kami saling berjabat, jari-jari kami erat dalam selaannya walau itu hanya dalam batin hayalan. Sebenarnya kami sayang, namun rasanya gak mungkin kami katakan karena nanti akan menjadi beban untuknya. Ketika dia tahu kami menyayanginya, maka ia akan terus berlaku agar tak satupun hal yang dilakukan olehnya mengecewakan kami. Kami tak mau dia terperangkap dalam rasa sayang kami. Sampaikan salam untuknya. Katakan pelanginya tak akan pudar. Socialnya akan selalu di depan. Sesungguhnya namanya ada di setiap sela jari kami…”

Semua hanya kejutan semata…… entah ada makhluk bening yang menetes kala itu entah senyum paksa dan pastinya tak bahagia. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar